HSG
histerosalpingografi
Sore ini,
hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2019. Jam 3 sore adzan Ashar berkumandang. Saya bergegas
sholat lalu ganti baju. Jam setengah 4 kita berangkat. Langit cukup mendung
tapi belum turun hujan. Jam 4, saya dapat pesan teks yang menginformasikan
bahwa keadaan lalu lintas sudah berjalan normal kembali setelah siang tadi ada
kunjungan bapak presiden ke lapangan Kridosono.
Jam setengah
5 kami tiba di lab Cito. Saya diminta melakukan pendaftaran dengan mengisi
surat pernyataan, menyerahkan KTP, diambil gambar lewat kamera serta membayar
biaya sebesar 1 juta rupiah. Setelah proses pendaftaran beres, saya diberi
tanda bukti untuk pengambilan hasil foto rontgen HSG lalu saya diminta menunggu
karena dokternya belum datang.
Jam 5 lewat,
saya diminta masuk ke ruang rontgen dan ganti baju. Semua baju harus dilepas
lalu ganti dengan baju yang ada talinya di bagian punggung. Saya request
apakah saya tetap boleh pakai kerudung? Jawabannya, diperbolehkan, Alhamdulillah.
Selesai melepas pakaian dan ganti baju, saya keluar dari kamar mandi, dan
ternyata dokternya sudah datang. Rasa cemas hilang berganti dengan rasa takut. Aneka
alat medis terpampang di depan mata saya, membuat saya ngilu.
Petugas yang
tadi meminta saya ganti baju lantas memperkenalkan diri, namanya Eva, beliau
bertugas sebagai asisten dokter, lalu dokter yang akan melakukan tindakan HSG namanya
dokter Budi.
Sebelum tindakan,
saya sempat ditanya:
1)
Sudah berapa
lama menikah?
2)
Sudah pernah
melakukan HSG sebelumnya?
3)
Sudah pernah
keguguran?
4)
Sudah melakukan
hubungan badan dari selesai haid sampai hari ini?
Setelah saya
jawab, dokter lalu meminta saya berbaring sambil menjelaskan beberapa hal,
yaitu:
1)
Tes HSG umum
dilakukan, prosesnya hampir mirip seperti ketika pemasangan alat kontrasepsi IUD
2)
Setiap hari
selalu ada pasien tes HSG
3)
Rasanya akan
sedikit sakit, kurang nyaman, mules
Ketika asisten
mengatur letak saya berbaring, tak terkira rasa malunya. This is my first
time doing HSG. Dan sungguh saya takut, tangan saya dingin, pandangan saya
tak tentu arah. Proses awalnya, dokter mengusapkan cairan antiseptik yang
lama-kelamaan saya rasakan perih. Begitu kateter masuk, saya menjerit kesakitan
sambil mencengkeram lengan Mba Eva. Proses pun terhenti karena saya dinilai
belum siap. Dengan suara yang lembut, dokter memberikan saya opsi, tetap
dilanjutkan atau dihentikan, karena ada juga pasien yang akhirnya dibatalkan
karena terjadi masalah.
Cukup lama
saya minta waktu untuk menenangkan diri, berusaha mencerna penjelasan dokter
yang mengatakan bahwa umumnya sekali coba langsung berhasil masuk jika pasien
tidak kontraksi.
Saya putuskan
untuk lanjut. Sungguh luar biasa sakitnya. Meskipun yang keluar dari mulut saya
adalah kalimat istighfar, namu saya ucapkan sambil teriak-teriak.
Setelah selang
berhasil terpasang, dokter mencabut alat yang entah apa namanya. Kembali saya
diminta mengatur posisi berbaring lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, lalu
diminta miring ke kiri, lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, lalu diminta
miring ke kanan, lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, dan yang terakhir saya diminta
berbaring terlentang lalu difoto.
Ketika proses
ini usai, dokter menanyakan apakah saya diberi resep obat penghilang rasa sakit
dan apakah saya merasakan sakit. Jika nanti terasa sakit maka saya
diperbolehkan minum obat pereda sakit seperti asam mefenamat, ibuprofen, atau
apa namanya saya lupa.
Dokter mempersilakan
saya untuk membersihkan area genital dan memasang pembalut sebagai antisipasi
bila keluar darah atau cairan kontras. Setelah selesai ganti baju, saya pun
keluar. Setelah 10 menit, saya merasa sedikit rasa sakit. Tak tahan dengan rasa
sakitnya, saya pun berderai air mata. Melihat saya menangis, petugas
resepsionis mendatangi saya seraya memberikan obat pereda rasa sakit.
Sekitar jam
6 lewat, hasil lab keluar. Kami mampir ke sekolah sebentar untuk mengambil
barang dan sekalian saya sholat. Sebelum pulang, kami mampir membeli makan
malam. Kira-kira jam setengah 8 kami menepi ke warung sate. Hujan turun sangat
deras. Begitu pesanan datang, here the pain comes, di sinilah mulai
terasa sakit yang sesungguhnya.
Sepanjang perjalanan
pulang, saya mengaduh kesakitan. Sampai di depan rumah, sambil terhuyung-huyung
saya keluar dari mobil. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali berbaring
saja di kamar. Bahkan sekedar untuk cegukan, sendawa, dan batuk saja, sakit
rasanya, apalagi untuk buang angin. Puncaknya menjelang jam 12 malam, saya
sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit. Saya merengek minta diberi obat
karena sama sekali saya tidak bisa tidur. Akhirnya dengan sedikit kesal, suami
memberi saya obat. Meski sudah minum obat, faktanya saya masih terjaga hingga
jam 2 pagi. Alhamdulillah setelah itu saya pun bisa tidur.
Hari berikutnya,
saya masih minta bantuan suami saya untuk memapah jika saya ingin ke kamar
mandi atau wudhu karena saya belum cukup kuat untuk berdiri tegak.
Bagaimana dengan
hasil labnya? Alhamdulillah semua baik dan normal. Masih terasa ngilu bila saya
melihat hasil foto rontgennya, terpampang jelas panjang selangnya. Penjelasan dari
dokter Anis, jika bulan ini tidak terjadi konsepsi maka bulan depan saya diminta
ketemu dokter untuk melakukan induksi lagi pada hari pertama haid.
Cerita ini
saya kisahkan bukan untuk mencari empati, tapi semata-mata saya ingin berbagi
pengalaman saja. Tentu ketahanan dan toleransi tubuh terhadap rasa sakit
berbeda-beda pada setiap orang, saya sendiri termasuk orang yang paling rapuh
dan tidak tahan banting.
Semangat bagi
pasangan yang sedang promil semoga ikhtiar kita dikabulkan Allah SWT. aamiin
0 komentar:
Posting Komentar