Minggu, 24 Maret 2019

HSG


HSG
histerosalpingografi

Sore ini, hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2019. Jam 3 sore adzan Ashar berkumandang. Saya bergegas sholat lalu ganti baju. Jam setengah 4 kita berangkat. Langit cukup mendung tapi belum turun hujan. Jam 4, saya dapat pesan teks yang menginformasikan bahwa keadaan lalu lintas sudah berjalan normal kembali setelah siang tadi ada kunjungan bapak presiden ke lapangan Kridosono.

Jam setengah 5 kami tiba di lab Cito. Saya diminta melakukan pendaftaran dengan mengisi surat pernyataan, menyerahkan KTP, diambil gambar lewat kamera serta membayar biaya sebesar 1 juta rupiah. Setelah proses pendaftaran beres, saya diberi tanda bukti untuk pengambilan hasil foto rontgen HSG lalu saya diminta menunggu karena dokternya belum datang.

Jam 5 lewat, saya diminta masuk ke ruang rontgen dan ganti baju. Semua baju harus dilepas lalu ganti dengan baju yang ada talinya di bagian punggung. Saya request apakah saya tetap boleh pakai kerudung? Jawabannya, diperbolehkan, Alhamdulillah. Selesai melepas pakaian dan ganti baju, saya keluar dari kamar mandi, dan ternyata dokternya sudah datang. Rasa cemas hilang berganti dengan rasa takut. Aneka alat medis terpampang di depan mata saya, membuat saya ngilu.

Petugas yang tadi meminta saya ganti baju lantas memperkenalkan diri, namanya Eva, beliau bertugas sebagai asisten dokter, lalu dokter yang akan melakukan tindakan HSG namanya dokter Budi.


Sebelum tindakan, saya sempat ditanya:
1)     Sudah berapa lama menikah?
2)     Sudah pernah melakukan HSG sebelumnya?
3)     Sudah pernah keguguran?
4)     Sudah melakukan hubungan badan dari selesai haid sampai hari ini?

Setelah saya jawab, dokter lalu meminta saya berbaring sambil menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1)     Tes HSG umum dilakukan, prosesnya hampir mirip seperti ketika pemasangan alat kontrasepsi IUD
2)     Setiap hari selalu ada pasien tes HSG
3)     Rasanya akan sedikit sakit, kurang nyaman, mules

Ketika asisten mengatur letak saya berbaring, tak terkira rasa malunya. This is my first time doing HSG. Dan sungguh saya takut, tangan saya dingin, pandangan saya tak tentu arah. Proses awalnya, dokter mengusapkan cairan antiseptik yang lama-kelamaan saya rasakan perih. Begitu kateter masuk, saya menjerit kesakitan sambil mencengkeram lengan Mba Eva. Proses pun terhenti karena saya dinilai belum siap. Dengan suara yang lembut, dokter memberikan saya opsi, tetap dilanjutkan atau dihentikan, karena ada juga pasien yang akhirnya dibatalkan karena terjadi masalah.

Cukup lama saya minta waktu untuk menenangkan diri, berusaha mencerna penjelasan dokter yang mengatakan bahwa umumnya sekali coba langsung berhasil masuk jika pasien tidak kontraksi.

Saya putuskan untuk lanjut. Sungguh luar biasa sakitnya. Meskipun yang keluar dari mulut saya adalah kalimat istighfar, namu saya ucapkan sambil teriak-teriak.

Setelah selang berhasil terpasang, dokter mencabut alat yang entah apa namanya. Kembali saya diminta mengatur posisi berbaring lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, lalu diminta miring ke kiri, lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, lalu diminta miring ke kanan, lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, dan yang terakhir saya diminta berbaring terlentang lalu difoto.

Ketika proses ini usai, dokter menanyakan apakah saya diberi resep obat penghilang rasa sakit dan apakah saya merasakan sakit. Jika nanti terasa sakit maka saya diperbolehkan minum obat pereda sakit seperti asam mefenamat, ibuprofen, atau apa namanya saya lupa.

Dokter mempersilakan saya untuk membersihkan area genital dan memasang pembalut sebagai antisipasi bila keluar darah atau cairan kontras. Setelah selesai ganti baju, saya pun keluar. Setelah 10 menit, saya merasa sedikit rasa sakit. Tak tahan dengan rasa sakitnya, saya pun berderai air mata. Melihat saya menangis, petugas resepsionis mendatangi saya seraya memberikan obat pereda rasa sakit.

Sekitar jam 6 lewat, hasil lab keluar. Kami mampir ke sekolah sebentar untuk mengambil barang dan sekalian saya sholat. Sebelum pulang, kami mampir membeli makan malam. Kira-kira jam setengah 8 kami menepi ke warung sate. Hujan turun sangat deras. Begitu pesanan datang, here the pain comes, di sinilah mulai terasa sakit yang sesungguhnya.

Sepanjang perjalanan pulang, saya mengaduh kesakitan. Sampai di depan rumah, sambil terhuyung-huyung saya keluar dari mobil. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali berbaring saja di kamar. Bahkan sekedar untuk cegukan, sendawa, dan batuk saja, sakit rasanya, apalagi untuk buang angin. Puncaknya menjelang jam 12 malam, saya sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit. Saya merengek minta diberi obat karena sama sekali saya tidak bisa tidur. Akhirnya dengan sedikit kesal, suami memberi saya obat. Meski sudah minum obat, faktanya saya masih terjaga hingga jam 2 pagi. Alhamdulillah setelah itu saya pun bisa tidur.

Hari berikutnya, saya masih minta bantuan suami saya untuk memapah jika saya ingin ke kamar mandi atau wudhu karena saya belum cukup kuat untuk berdiri tegak.

Bagaimana dengan hasil labnya? Alhamdulillah semua baik dan normal. Masih terasa ngilu bila saya melihat hasil foto rontgennya, terpampang jelas panjang selangnya. Penjelasan dari dokter Anis, jika bulan ini tidak terjadi konsepsi maka bulan depan saya diminta ketemu dokter untuk melakukan induksi lagi pada hari pertama haid.

Cerita ini saya kisahkan bukan untuk mencari empati, tapi semata-mata saya ingin berbagi pengalaman saja. Tentu ketahanan dan toleransi tubuh terhadap rasa sakit berbeda-beda pada setiap orang, saya sendiri termasuk orang yang paling rapuh dan tidak tahan banting.

Semangat bagi pasangan yang sedang promil semoga ikhtiar kita dikabulkan Allah SWT. aamiin

H – 1


H – 1

Friday
March 22nd 2019
I felt so depressed today.
This evening somebody texted me via WA.
She asked me which number she could dial to contact me. She told me about the campaign at Kridosono.

My hubby went home when the sun set.
I told him.
A moment later I was crying.
He couldn’t stop talking, warning, complaining, and blaming on me.

Oh God.
Why should I marry this man?
He’s so arrogant.

Deep down in my heart, all I want is you. You come close and hug me, you let me cry by your side, but you didn’t.

All I need is, you go shower, change your cloth, stand next to me, hold my hand, remove tears, and calm me down, but you didn’t.

I am crying all day long until my eyes are swollen.

Dislike this situation.
Can’t you be more romantic when I was down?
Don’t you grow up?

What does make me cry?
It’s going to be hurt, but I’m going to be fine, right?

JADWAL HSG


JADWAL HSG

Sore ini, hari Rabu, tanggal 20 Maret 2019, saya dan suami berniat survey lab untuk tes HSG. Tempat pertama yang kita tuju adalah lab Parahita. Kenapa milih Parahita? Karena yang paling deket. Dan karena kemarin suami juga cek sperma d Parahita.

Belum sampai meja resepsionis saja, saya udah lemes, takut banget. Setelah suami ambil nomor antrian, saya beranikan diri melangkah maju ke meja resepsionis. Ini bukan lebay ya, tapi beneran takut.

Ternyata, sebelum tes HSG, kita memang harus buat janji dulu dengan dokternya, karena jadwal dokternya tidak setiap hari ada, apalagi kalau akhir pekan. Resepsionisnya menjelaskan bahwa:
1)     Tes HSG dapat dilakukan pada hari ke 9, 10, 11, 12 (namun biasanya dokter lebih senang jika HSG dilakukan pada hari ke 10, karena rahim cenderung sudah bersih dari darah haid).
2)     Disarankan untuk tidak melakukan hubungan badan di hari selesai haid hingga menjelang tes HSG.
3)     Disarankan pula untuk merapikan pubic hair sebelum tes HSG.

Setelah banyak nanya ini itu, diputuskanlah untuk tes HSG di hari ke 10 setelah haid yang jatuh pada hari Sabtu. Setelah di telponkan ternyata tidak ada jadwal dokter di hari tersebut, sehingga ditawarkan opsi untuk:
1)     Mencari alternatif lab lain
2)     Menunggu sampai berakhirnya siklus haid bulan berikutnya

Kita pilih opsi pertama donx, soalnya kalau nungguin berakhirnya siklus haid bulan berikutnya kan kelamaan, pakai banget lagi.

Tempat kedua yang kita tuju adalah lab Cito. Menurut saya, resepsionis di sini jauh lebih ramah. Bukan saya mengatakan bahwa resepsionis di Parahita tidak ramah, bukan ya. Di Parahita, resepsionisnya ramah dan jujur, tapi di Cito, resepsionisnya jauh lebih ramah dan halus.

Di Cito kami tidak mengambil nomor antrian, karena memang tidak sedang ada antrian, jadi langsung dilayani resepsionis. Penjelasannya sama dengan lab sebelumnya yaitu HSG bisa dilakukan pada hari ke 9 atau 10. Jika hari ke 9 maka jatuh pada hari Jumat, dan jika hari ke 10 maka jatuh pada hari Sabtu. Ternyata hari Jumat dan Sabtu ada jadwal dokter, dan suami saya langsung putuskan oke, hari Sabtu jam 4 sore. Saya dimintai keterangan nama, nomor yang bisa dihubungi, dan dokter obsgyn yang memberikan surat pengantar. Di buku tertulis sudah ada 2 calon pasien tes HSG.

Berhubung saya kepo, tanyalah saya ke resepsionisnya, boleh ga kalau ditemenin suami masuk ruangan? Jawabannya, mohon maaf, berhubung ruangan radiasi sehingga kami meminimalkan orang yang tidak berkepentingan untuk masuk ke ruang tersebut.
Makin lemes lah saya. But one thing for sure, dokternya perempuan, this good news makes me comfort.

MENJELANG HSG


MENJELANG HSG

14 Maret 2019
Hari Kamis kemarin saya izin tidak masuk sekolah, alasannya karena kepala pusing. Sebetulnya hanya gejala flu biasa, tapi betul-betul pusing rasanya. Yang membuat heboh teman-teman di parallel adalah mereka menyangka bahwa saya positif hamil karena melihat saya yang terlihat lemah. Saya sendiripun berhusnudzon karena [baru] telat haid dua hari. Yang paling bikin nyesek adalah ketika sore harinya tiba-tiba ternyata saya haid. Rasanya, oh my God.
It’s okay.
This isn’t the first time.

Seperti yang sudah terprogramkan maka sore harinya suami saya menghubungi Dokter Anis. Jawaban dari Dokter Anis, beliau akan membuatkan surat rujukan untuk tes HSG. How does it feel? I’m scared. I’m not ready but I’ve to do that.
As the preparation, I’ve asked my friend who have done HSG. Sebut saja nama teman saya, Bunga. Menurut penuturan Bunga, pada saat HSG kita diminta untuk tidur terlentang, lalu petugas akan memasukkan sebuah alat ke dalam [maaf] vagina. Alat tersebut akan menyemprotkan cairan kontras ke dalam rahim. Setelah disemprot maka petugas akan mengambil gambar. Lalu kita akan diminta tidur miring ke kanan, dan cairan kontras akan disemprotkan lagi ke saluran tuba falopii kanan, dan petugas akan mengambil gambar, begitu pula ketika diminta tidur miring ke kiri. Apakah rasanya sakit? Menurut Bunga, rasa sakitnya mirip nyeri haid hari pertama. Berapa tarifnya? Mahal jenk, 750.000. Di mana labnya? Pramita lab Magelang. Noted*

14 Maret 2019
Now I’m counting down, H – 8
What am I doing now?
Nothing I can do.
Hanya berdoa semoga everything will run well.


Jumat, 15 Maret 2019

Bloody Buddy


Bloody Buddy

Hari ini Rabu, tanggal 13 Februari 2019, unfortunately I got my period last night.
Gagal lagi.

Well, ga pa pa, kita coba lagi this month.

Seperti yang sudah dijanjikan oleh dokter Anis bahwa jika ternyata saya haid, maka tindakan pertama adalah induksi. Beliau memang telah meresepkan obat yang harus saya tukar jika ternyata saya haid bulan ini.

Sore ini kami ke lab PARAHITA untuk mengambil hasil analisa sperma, dan Alhamdulillah hasilnya NORMOZOOSPERMIA.

Sepulang dari lab, kami ke apotek Sultan Agung untuk menukar resep. Obat yang diresepkan harus diminum pada hari kedua sampai hari keenam haid. Dan durasi waktu minum obatnya harus 24 jam agar kinerja obat bisa maksimal.

Esok harinya dokter Anis meminta kami membeli obat eturol (untuk suami istri) dan folavicap 400.

Farmasi:                                                                           Harga:
GP – FERTIL CLOMIFENE CITRATE                                  144.000
ETUROL (2 strip) dan FOLAVICAP 400                          156.000

Kamis, 14 Maret 2019

SEMANGAT PROMIL [LAGI]


SEMANGAT PROMIL [LAGI]

Niat hati pengen belajar [konsisten] nulis blog, tapi apa daya justru vakum dan terbengkalai bertahun-tahun.

Masih dalam suasana tahun baru dengan semangat baru dan gairah baru serta resolusi baru.

Cerita promil kali ini, kita sepakat untuk ganti dokter. Bukan karena kita ga percaya sama kemampuannya dokter Alfaina, tapi karena teman dekat kita merekomendasikan untuk konsultasi ke wali murid yang juga berprofesi sebagai dokter obsgyn. Bismillah, ikhtiar katanya. Baiklah, apa salahnya kita coba?

Gayung bersambut. Suamiku memang mengenal beliau dan sudah pernah ketemu dengan beliau langsung di sebuah acara, jadi suamiku yang menghubungi beliau. Selang hari berikutnya beliau merespon dan langsung buat janji ketemuan. Tanggal 24 januari 2019, hari kamis selepas sholat isya kita berangkat menuju ke apotek Sultan Agung. Di tempat itulah beliau membuka praktek. Prosedurnya sama seperti promil terdahulu, kita diminta untuk mengambil nomor antrian, menuliskan nama, ditimbang berat badannya, diperiksa tekanan darahnya lalu diminta untuk mengisi data diri karena saya adalah pasien baru.

FYI kita konsultasi ke dokter Anis.
Kira-kira setengah jam menunggu, tiba saatnya giliran kami. Deg-deg an udah pasti. Takut, jujur iya tetep ada rasa takut.

Alhamdulillah beliau sangat welcome dan komunikatif. Karena kami sudah pernah promil juga sebelumnya jadi beliau berusaha menggali informasi sudah sejauh mana perjalanan promil kami.


Singkat cerita, saya diminta melakukan USG. Hal yang paling tidak nyaman saat USG adalah rasa geli. [serius saya paling ga tahan geli]. Menurut pengamatan dokter, rahim saya bersih, tidak ada kista, tidak ada miom. Hanya saja kita tidak tahu apakah salurannya tersumbat atau tidak karena tidak terdeteksi melalui USG dan hanya dapat terlihat hasilnya jika kita melakukan pemeriksaan HSG. [jujur ya, tiap kali mendengar kata HSG tu rasanya langsung ngilu seluruh tubuh. Lebay. Memang. Salah saya sendiri dulu pake acara search HSG di youtube. Lagian siapa yang ga kepo coba?]

Cukup, back to the main topic.
Setelah pemeriksaan USG dan konsultasi panjang lebar, kami putuskan untuk melakukan induksi lagi bulan depan. Jadi untuk saat ini sambil menunggu periode haid bulan berikutnya, kami diberi vitamin E untuk dikonsumsi suami istri. Dokter juga meminta suami saya untuk melakukan cek lab lagi agar mendapatkan hasil terupdate. Beliau menyarankan agar suami saya melakukan cek lab waktu pagi hari dalam keadaan bugar dan puasa [I’m sure you already knew lah] dua hari. Dan cek lab tersebut harus dilakukan sebelum saya haid bulan depan [februari].

Jika bulan ini tidak berhasil terjadi konsepsi, dokter membuatkan resep obat hormonal untuk dikonsumsi bulan depan pada hari kedua haid. Beliau menganjurkan agar obat tersebut dikonsumsi secara ritmis, maksudnya obat tersebut harus diminum pada jam yang sama tiap harinya agar kinerja obat tersebut bisa maksimal.