Minggu, 20 Oktober 2019

Natural Conception


Trying To Conceive (Natural Conception)

Tanggal 14 september, hari sabtu, saya dirujuk oleh dokter Anis Widyasari ke ahli fertilitas bernama dokter Uki Retno B, Sp. OG (K) yang berlokasi di Klaten. Kenapa sampai jauh ke Klaten? Karna saya hanya ingin diperiksa oleh dokter perempuan, dan dokter Uki adalah rekomendasi ahli fertilitas terbaik menurut dokter Anis. Singkat cerita, suami saya dapat nomor kontak dokter Uki, beliau menyarankan untuk langsung datang ke RSI Klaten. Jadilah sabtu sore saya dan suami pergi ke RSI Klaten. Jarak tempuh dari Jogja ke Klaten kurang lebih 1 jam perjalanan dalam kondisi normal alias tidak macet. Karna baru pertama kali, kami tidak tahu kalau ada 2 gedung yaitu gedung lama untuk pasien regular dan gedung baru untuk pasien eksekutif. Kami parkir di depan gedung lama lalu jalan agak jauh menuju gedung baru. Sesampainya di gedung baru kami tanya pak satpam lalu diarahkan untuk masuk di ruang tunggu poliklinik eksekutif. Oleh perawat saya ditanya riwayat medisnya, dicek tekanan darahnya, disuruh nimbang, lalu diminta nunggu giliran dipanggil.

Tiba giliran saya masuk, suami saya menyerahkan dokumen hasil analisis sperma dan HSG serta surat rujukan dari dokter Anis. Dokter Uki memeriksa satu per satu sembari bertanya sudah menikah berapa lama dan tindakan apa saja yang sudah dilakukan sejauh ini. Setelah itu saya diminta berbaring karna akan diperiksa, oleh perawatnya saya diberitahu kalau akan diperiksa lewat “bawah”. Omaigat, itu artinya akan diUSG Transvaginal. Seketika rasanya takut banget karna terbayang saat dulu HSG. Sungguh tidak nyaman, malu dan sakit. Singkat cerita, dokter memotret hasil USG lalu mencetaknya. Dokter meresepkan obat Profertil (untuk 5 hari) dan Inlacin (untuk sebulan). Kami diminta datang lagi hari kamis tanggal 19 september. Keluar dari ruang periksa rasanya sedih banget, ya Allah sebegininya perjuangan kami harus sampai sejauh ini. Suami saya lalu pergi ke loket farmasi untuk membayar tagihan dan menukar resep sementara saya menunggu sembari duduk bersedih. Setelah mendapatkan obat, kami diskusi cukup lama di mobil sambil menenangkan hati dan perasaan yang masih sedih.
Profertil tab 50 mg (10 butir)
(Tablet 50 mg, Clomiphene 50 mg, 30 menit sesudah makan)
Inlacin 100 mg cap (30 butir)
(Lagerstroemia speciosa, 30 menit sesudah makan)
Poliklinik eksekutif
125.000
USG Transvaginal
147.500
R/ Profertil tab 50 mg
199.080
R/ Inlacin 100 mg cap
205.050
Total
676.630

Tanggal 19 september, hari kamis. Kami tiba di RSI kira-kira jam setengah 6 petang. Dokter datang kira-kira jam 7 malam. Begitu tiba giliran, saya masuk ruang periksa, langsung diUSG Transvaginal. Setelah melihat hasil USG, dokter menawarkan untuk langsung injeksi mengingat usia pernikahan kami yang terbilang sudah cukup lama yakni 5 tahun dengan konsekuensi harganya mahal. Suami saya mantap mengiyakan. Dokter lalu meresepkan obat yang harus disuntikkan. Injeksi ini akan berlangsung selama 4 hari berturut-turut dan dilakukan pada waktu yang sama. Suami saya lalu pergi ke loket farmasi untuk membayar tagihan dan menukar resep. Setelah mendapatkan obat, kami diminta kembali ke ruang periksa untuk injeksi. Jarumnya kecil, dosisnya 75 ml, dan disuntikkan di perut secara bergantian (hari pertama injeksi di perut bagian kanan). Butuh waktu beberapa menit untuk saya menenangkan dan mempersiapkan diri. Rasanya agak sedikit sakit, mungkin karna kaget dan belum terbiasa. Saya disuntik kira-kira jam setengah 8 malam. Hari berikutnya kami minta tolong Mba Nanik (sekarang perawat di RS NH, dulu teman SMA suami saya) untuk menyuntikkan (hari kedua injeksi di perut bagian kiri). Saya disuntik kira-kira jam 8 malam.
Poliklinik eksekutif
125.000
USG Transvaginal
147.500
R/ Gonal – F 300 IU
2.571.965
Total
2.844.465

Tanggal 21 september, hari sabtu. Kami tiba di RSI kira-kira jam 4 sore. Begitu tiba giliran, saya masuk ruang periksa, langsung diUSG Transvaginal. Dokter memeriksa dan mengukur diameter sel telur dan terlihat di layar hasilnya menunjukkan angka 12 mm, padahal seharusnya 18 mm. Masih ada harapan karna obat masih tersisa 150 ml untuk 2 hari yakni hari ini dan besok. Berhubung waktu periksanya lebih awal maka jadwal injeksinya pun akhirnya maju 2 jam. Saya disuntik kira-kira jam setengah 6 petang (hari ketiga injeksi di perut bagian kanan). Hari berikutnya kami minta tolong Mba Nanik (sekarang perawat di RS NH, dulu teman SMA suami saya) untuk menyuntikkan (hari keempat injeksi di perut bagian kiri). Saya disuntik kira-kira jam setengah 7 petang.
Poliklinik eksekutif
125.000
USG Transvaginal
147.500
Total
272.500


Tanggal 23 september, hari senin. Kami tiba di RSI kira-kira jam setengah 6 petang. Saat itu tidak terlalu banyak calon pasien, hanya ada 4 pasang suami istri. Biasanya, dokter datang kira-kira jam 7 malam, namun sampai jam setengah 8 malam belum ada kabar dan kami diminta menunggu oleh perawatnya. Jam 8 malam dokter mengabarkan bahwa beliau harus melakukan prosedur operasi Caesar pada pasien yang sudah d vacuum namun gagal. Ketiga calon pasien mohon diri untuk pulang dan indent daftar untuk besok pagi. Tinggallah saya dan suami. Tepat jam 9 malam dokternya datang. Begitu dipanggil, saya masuk ruang periksa, langsung diUSG Transvaginal. Dokter memeriksa dan mengukur diameter sel telur dan terlihat di layar hasilnya menunjukkan angka 14 mm, masih kurang 4 mm lagi. Akhirnya dokter meresepkan untuk injeksi lagi namun dengan obat yang berbeda dan harus dioplos terlebih dahulu. Karna bagian farmasi eksekutif sudah tutup maka kami pergi ke bagian farmasi regular di gedung lama. Setelah membayar tagihan dan menukar resep, kami naik lift ke lantai 2 menuju ruang poliklinik nomor 11. Saat saya berbaring, perawat menyiapkan suntikan dan mengoplos obatnya. Saya disuntik di perut bagian kanan kira-kira jam setengah 10 malam. Dengan jarum yang lebih besar dan lebih panjang, rasanya aduhai sakitnya dan pegel. Butuh beberapa menit untuk saya menunggu hingga rasa sakitnya agak berkurang.
Poliklinik eksekutif
125.000
USG Transvaginal
147.500
Injecti Kenacort Intradermal
54.000
R/ Menopur Inj
1.410.826
R/ Spuit 3 cc terumo
10.722
R/ Needle 23 TRM
1.914
Total
1.749.962
Tanggal 24 september, hari selasa, kami minta tolong Mba Nanik (sekarang perawat di RS NH, dulu teman SMA suami saya) untuk menyuntikkan (hari kedua injeksi di perut bagian kiri). Saya disuntik kira-kira jam setengah 8 malam di RS NH. Rasanya aduhai sakitnya dan pegel. Butuh beberapa menit untuk saya menunggu hingga rasa sakitnya agak berkurang.

Tanggal 25 september, hari rabu. Kami tiba di RSI kira-kira jam 6 petang. Dokter datang kira-kira jam 7 malam. Begitu tiba giliran, saya masuk ruang periksa, langsung diUSG Transvaginal. Dokter memeriksa dan mengukur diameter sel telur, hasilnya bagus dan siap dibuahi. Kami pun ditanya apakah akan inseminasi alami atau buatan? Berhubung kami awam dunia kesehatan, kami pun meminta saran terbaik dari dokter. Menurut pendapat dokter Uki, karna tindakan yang dilakukan untuk saya sudah sejauh ini maka lebih baik langsung inseminasi buatan, mengingat usia pernikahan kami yang sudah cukup lama. Setelah konsultasi masalah biayanya, suami saya mantap mengiyakan untuk tindakan inseminasi buatan. Dokter lalu meresepkan obat yang harus disuntikkan untuk memecah sel telur. Suami saya lalu pergi ke loket farmasi untuk membayar tagihan dan menukar resep. Setelah mendapatkan obat, kami diminta kembali ke poli eksekutif guna diberitahu cara menyuntikkan obatnya dan cara menyimpannya.
Poliklinik eksekutif
125.000
USG Transvaginal
147.500
R/ Ovidrel 250 micrograms
(Choriogonadotropin alfa)
914.691
Total
1.187.191

Tanggal 26 september, hari kamis, kami ke rumah Mba Nanik untuk minta tolong menyuntikkan obat Ovidrel. Saat pertama diberitahu dosis obatnya, Mba Nanik tercengang. Hal itu membuat saya khawatir, jangan-jangan bakal sakit rasanya. Lalu saya berbaring sembari menunggu Mba Nanik menyiapkan obatnya. Setelah obat berhasil disuntikkan, benar dugaan saya, rasanya sungguh luar biasa, pegelnya minta ampun, sampai meleleh air mata saya. Mba Nanik mencoba menenangkan dengan mengusap-usap punggung tangan saya. Cukup lama rasa nyerinya, kira-kira setelah 5 menit saya baru bisa duduk. Saya disuntik kira-kira jam 8 pagi. Kami tidak bias berlama-lama di sana karna sebentar lagi Mba Nanik masuk shift siang, kami pun pulang. Ini adalah injeksi terakhir sebelum tindakan IUI.

Assisted Reproduction
IUI (Intra-Uterine Insemination)

Tanggal 27 september, hari jumat. Kami berangkat dari rumah kira-kira jam 2 siang. Sebelum berangkat ke RSI kami mengabarkan perihal inseminasi ini ke keluarga, saudara, dan rekan-rekan di sekolah sekaligus mohon doa dan mohon dimaafkan segala salah dan khilaf. Tidak kami duga, ternyata banyak sekali rekan kerja yang mengirimkan doa agar proses inseminasi ini berjalan lancar dan diberikan hasil yang terbaik. Rasanya trenyuh, terharu, bikin pengen nangis, sedemikian besar rasa kepedulian dan perhatian mereka. Semoga Allah SWT mengabulkan doa-doa baik kita, aamiin.

Jam 3 sore kami masih dalam perjalanan, karna sudah masuk waktu ashar, maka kami pun mampir ke masjid untuk sholat ashar. Kira-kira jam 4 sore, kami tiba di rumah sakit dan langsung menuju ke loket pendaftaran di gedung lama. Setelah mendapat print out nomor pendaftaran, kami langsung menuju ke ruang laboratorium. Ternyata hari itu akan ada 2 pasang pasutri yang akan melakukan tindakan inseminasi. Calon pasien yang pertama namanya Mba Dewi, dan kami yang kedua, sehingga kami diminta untuk menunggu terlebih dahulu sampai tindakan untuk calon pasien pertama selesai dilakukan. Sembari menunggu dipanggil, kami diminta menyebutkan tanggal lahir dan nomor telepon yang bias dihubungi.

Saat tiba giliran kami, seorang perawat laki-laki membawa kami masuk ke sebuah ruangan namanya recovery room. Ruangan tersebut terbagi menjadi 2 yang dipisahkan oleh pintu. Ruangan bagian depan berisi single bed ala rumah sakit, sedangkan ruangan bagian belakang berisi king bed size ala rumah tangga, wastafel, dan kamar mandi. Sejenak perawat tersebut meminta kami untuk duduk dan mendengarkan arahannya. Dijelaskan bahwa suami saya harus mengeluarkan seluruh spermanya, harus semuanya, lalu ditampung dalam wadah semacam botol transparan ukuran sedang. Kami diminta mengingat dan mencatat jam/ waktu saat ejakulasi terjadi. Agar suami bias ejakulasi maka istri boleh membantu, namun kami dilarang melakukan hubungan intim. Begitu nanti perawatnya keluar, kami diingatkan agar menutup dan mengunci pintunya. Setelah selesai memberikan penjelasan, perawat laki-laki tersebut pun pamit keluar. Sungguh geli rasanya mendengarkan penjelasan mengenai hal-hal intim begitu dari orang lain di depan suami sendiri. Menurut pendapat suami saya, tindakan seperti itu justru lebih syariah karna istri diperkenankan masuk dan membantu proses ejakulasi. Dulu pengalaman suami ketika analisis sperma, istri tidak boleh masuk, bahkan oleh perawat diputarkan film erotis sehingga memunculkan fantasi liar.
Singkat cerita, suami saya berhasil ejakulasi pukul 16.44, angka cantik serba 4. Karna suami saya perlu membersihkan diri, maka saya bawa hasil sperma tersebut ke laboratorium. Setelah saya serahkan, saya diberitahu bahwa sperma tersebut akan segera diproses, dan bila nanti prosesnya sudah selesai, hasilnya akan langsung diantarkan ke poli eksekutif kira-kira jam 7 malam. Dan selama menunggu hingga waktu tersebut, kami diperbolehkan untuk mandi wajib, lanjut sholat maghrib. Selesai sholat maghrib, kami langsung menuju ke poli eksekutif. Awalnya kami diminta melengkapi dokumen yang harus dikumpulkan berupa fotokopi KTP, KK, dan surat nikah. Setelah dicek tekanan darah kami berdua, suami saya diminta untuk kembali ke loket pendaftaran guna mendaftarkan diri dan mengisi formulir. Sekembalinya suami dari loket pendaftaran, kami mendapat kartu periksa lengkap dengan name kami masing-masing dan nomor rekam medis. Selanjutnya kami diminta untuk menuliskan data diri pada form kesediaan tindakan medis lengkap dengan tanda tangan kami berdua. Berhubung saya kepo, banyak hal yang saya tanyakan ke perawatnya, dan kesimpulannya adalah:
1)     Proses tindakan IUI dilakukan kurang lebih 30 menit kalau bias tenang dan rileks
2)    Tidak didahului dengan USG TransVaginal
3)    Akan dibekali obat penguat rahim yang harus dimasukkan lewat vagina
4)    Suami juga akan dibekali obat  tersendiri
Selesai mendengar adzan, lalu kami bergegas sholat isya, khawatir kalau-kalau dokternya keburu datang. Selama menunggu tindakan IUI pasien pertama, sudah tak terhitung lagi berapa kali saya keluar masuk toilet, saking tegangnya. Kira-kira jam setengah 9 malam, giliran saya dipanggil, takut banget rasanya. Kali ini saya diminta masuk ke ruang inseminasi, bukan lagi ruang periksa seperti biasanya. Saya diminta melepas celana dan celana dalam lalu berbaring di atas bed untuk persalinan dan memakai selimut. Sembari menunggu dokter Uki datang, perawat menyiapkan alat-alat yang akan digunakan, sayangnya alat-alat tersebut ditutup oleh kain sehingga saya tidak bias melihatnya dengan jelas. Ketika dokter Uki datang, saya diminta untuk menaikkan kedua kaki, lalu suami diminta untuk duduk di sebelah kanan saya, sementara dokter Uki menyalakan lampu sorot lalu memakai handscoen. Proses tindakan IUI diawali dengan membersihkan organ intim dengan cairan (entah apa namanya, mungkin antiseptic). Setelah itu dokter memasukkan alat berupa cocor bebek, di sinilah rasa sakit itu dimulai. Karna saya tegang, maka alhasil alat tersebut tidak bias masuk. Akhirnya dokter memilihkan alat dengan ukuran yang paling kecil special untuk saya, special di hari ulang tahun beliau. Reflex saya ucapkan barakallah fii umrik dokter, dan itu cukup untuk sejenak mengalihkan perhatian saya. Setelah itu saya tidak tahu lagi alat apa saja yang dimasukkan lewat vagina saya, yang jelas hanya rasa sakit yang saya rasakan, seperti ditusuk berkali-kali. Meskipun yang keluar dari mulut saya adalah ucapan istighfar, namun saya ucapkan dengan teriak, karna saking sakitnya. Berulangkali suami saya mengingatkan agar saya tidak berteriak, khawatir nanti akan mengganggu konsentrasi dokter Uki, tapi saya betul-betul tidak bias menahan rasa sakitnya. Entah apa yang ditanyakan oleh perawat ke suami saya, dan entah apa yang ditanyakan oleh dokter ke perawat di samping kiri saya, yang jelas saat itu yang saya inginkan hanyalah proses tersebut cepat selesai. Akhirnya puncak dari rasa sakit adalah ketika alat cocor bebek tersebut dilepaskan, sungguh nyeri rasanya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih dan permintaan maaf pada dokter Uki atas kehebohan ulah saya yang tidak bisa menahan rasa sakit.
Begitu semua alat selesai dicabut, dokter Uki memanggil suami saya. Dijelaskan bahwa IUI adalah tindakan menyemprotkan sperma ke mulut Rahim, hanya mendekatkan sperma ke ovum, bukan mempertemukan, sehingga diharapkan sperma dapat bertemu ovum dengan sendirinya.
Sementara dokter Uki memberikan penjelasan, ternyata tindakan untuk saya belum berakhir. Perawat menjelaskan bahwa saya harus diberi obat penguat rahim yang harus dimasukkan lewat vagina. Tetapi karna saya baru saja selesai tindakan IUI, maka khusus hari itu obat akan dimasukkan secara rektal atau melalui anus. Tanpa basa basi, perawat langsung membuka segel obat, meminta saya menarik nafas panjang, lalu memasukkan obat tersebut ke anus saya, sakit. Selesai tindakan, perawat mencuci semua peralatan sembari menjelaskan bahwa kami diberi 1x kesempatan untuk berhubungan intim yaitu pada hari minggu, jamnya terserah bias pagi, siang, sore atau malam, dan jangan lupa memasukkan obat vaginal sebelum tidur. Sebelum keluar, saya diminta untuk tetap berbaring selama 15 menit.
Begitu dokter Uki dan perawat keluar ruangan, pecahlah tangis saya. Sungguh terharu, sebegininya perjuangan saya agar bias hamil. Hari itu untuk pertama kalinya suami saya melihat perjuangan saya dari awal sampai akhir, karna saat dulu HSG suami tidak diperkenankan masuk ke ruang tindakan. Agar sedikit tenang, saya meminta suami saya untuk bersama-sama murojaah juz 30, walaupun pada akhirnya air mata saya tetap meleleh juga. Kira-kira jam setengah 10 malam, suami saya diminta untuk membayar tagihan dan menukar resep, ada 2 macam obat untuk saya dan 1 macam obat untuk suami saya. Saya sendiri sudah diperbolehkan duduk dan memakai celana. Kami keluar dari ruang tindakan menuju ke tempat parker. Perjalanan kurang lebih selama 1 jam menuju jogja. Kami mampir beli sate dan tongseng karna sedari ashar kami belum makan nasi, hanya sempat makan siomay, tetapi karna jumlah antriannya banyak, jadilah kami menunggu cukup lama. Tepat jam 12 tengah malam kami sampai di rumah.

Methylprednisolone 4 mg (15 butir)
125.000
Cygest Progesterone 400 mg (15 pesari)
147.500
Oligocare Tablets (30 tablets)
125.000





Minggu, 21 April 2019

Pasca HSG


Pasca HSG

Hari Sabtu ini tanggal 20 April 2019, agendanya mau menghadiri doa bersama kelas 6 di masjid UIN SUKA. Tepat hari ini saya sudah telat haid 9 hari dari tanggal semestinya haid, dan karena penasaran saya sudah 2x testpack, namun sayang hasilnya masih negatif. Karena ga ada pertanda bakal haid, saya pun tidak antisipasi bawa pembalut dan extra undies buat jaga-jaga. Mendadak di tengah-tengah acara perut mules nyeri ga karuan, sampai akhirnya haid beneran. Ya Allah, sedih rasanya. Kembali terngiang tes HSG kemaren.
Husnudzon
Ikhtiar lagi
Sesuai pesan dr. Anis, jika bulan berikutnya datang haid, maka saya akan diinduksi lagi. Sorenya, beliau meresepkan obat untuk saya minum.
Farmasi:                                                                                                 Harga:
GP – FERTIL CLOMIFENE CITRATE 50 mg (5 tablet)                           144.000

Guest Teacher


Guest Teacher

Hari Senin lalu tanggal 15 April 2019, kita kedatangan guru tamu dari Australia. Namanya Mr. Naser. Orangnya ramah, santun, dan komunikatif.

Beliau diberi kesempatan untuk mengajar di Esluha Timoho selama tiga hari, yaitu senin, selasa, dan kamis. Sebagian besar saya ikut mendampingi beliau selama di kelas. Banyak hal yang saya pelajari dari beliau, di antaranya the way he greets the students, the way he teaches the students, the way he manages the class, the way he controls the naughty boys, the way he approaches the shy students, the way he plays the games, the way he appreciates the students’ work, the way he cheers up the loser team, etc.

Rasanya ga cukup sehari buat belajar dari beliau. Satu hal yang paling mengesankan dari beliau adalah hatinya yang mulia. Serasa tertampar diri ini, malu saya. Ternyata beliau rela jauh-jauh datang ke sini hanya demi agar bisa beramal. He doesn’t want to stand in front of Allah with empty hand. Beliau bercerita bahwa di Aussie sana tidak ada kaum dhuafa, tidak ada anak yatim, tidak ada orang miskin, semua rakyatnya sudah hidup berkecukupan, sehingga beliau kesusahan ketika hendak menunaikan kewajiban membayar zakat. Sejak tahun 2013 beliau selalu datang ke Indonesia hanya untuk membayar zakat. Padahal jumlah zakat yang beliau bayarkan dengan biaya akomodasi (tiket pesawat pulang–pergi, penginapan, transportasi pulang–pergi, dll) yang beliau keluarkan tak sebanding.  Beliau bayar zakat senilai dua juta, sedangkan biaya akomodasinya sebesar delapan juta, omaigad. Tergelitik saya mendengar perjuangan beliau dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Hal yang sama juga terjadi ketika hari raya qurban. Karena di Aussie sana tidak ada rakyat miskin, dan percuma kalau memberikan daging qurban karena mereka mampu membelinya sendiri, maka lagi-lagi beliau repot–repot datang ke Indonesia untuk membeli daging qurban, lalu menyembelihnya, dan membagi-bagikannya ke rakyat miskin. So, he travels to Indonesia twice a year and it repeats every year. Sedih atau bangga?

Sedih melihat kenyataan bahwa, rakyat Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Bangga karena kita membukakan jalan agar orang lain bisa beramal. Beliau bercerita bahwa suara adzan di Aussie adalah hal yang langka karena setiap kecamatan hanya ada satu masjid, sehingga masyarakat muslim di sana sudah terbiasa mendirikan sholat di manapun mereka berada saat itu, bahkan sampai tak peduli arah kiblat, yang penting sudah masuk waktu sholat. Sedangkan di sini, he can easily find mosque in every corner, dan suara adzan terdengar dari mana–mana. Then which of the favors of your Lord will you deny?

Minggu, 24 Maret 2019

HSG


HSG
histerosalpingografi

Sore ini, hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2019. Jam 3 sore adzan Ashar berkumandang. Saya bergegas sholat lalu ganti baju. Jam setengah 4 kita berangkat. Langit cukup mendung tapi belum turun hujan. Jam 4, saya dapat pesan teks yang menginformasikan bahwa keadaan lalu lintas sudah berjalan normal kembali setelah siang tadi ada kunjungan bapak presiden ke lapangan Kridosono.

Jam setengah 5 kami tiba di lab Cito. Saya diminta melakukan pendaftaran dengan mengisi surat pernyataan, menyerahkan KTP, diambil gambar lewat kamera serta membayar biaya sebesar 1 juta rupiah. Setelah proses pendaftaran beres, saya diberi tanda bukti untuk pengambilan hasil foto rontgen HSG lalu saya diminta menunggu karena dokternya belum datang.

Jam 5 lewat, saya diminta masuk ke ruang rontgen dan ganti baju. Semua baju harus dilepas lalu ganti dengan baju yang ada talinya di bagian punggung. Saya request apakah saya tetap boleh pakai kerudung? Jawabannya, diperbolehkan, Alhamdulillah. Selesai melepas pakaian dan ganti baju, saya keluar dari kamar mandi, dan ternyata dokternya sudah datang. Rasa cemas hilang berganti dengan rasa takut. Aneka alat medis terpampang di depan mata saya, membuat saya ngilu.

Petugas yang tadi meminta saya ganti baju lantas memperkenalkan diri, namanya Eva, beliau bertugas sebagai asisten dokter, lalu dokter yang akan melakukan tindakan HSG namanya dokter Budi.


Sebelum tindakan, saya sempat ditanya:
1)     Sudah berapa lama menikah?
2)     Sudah pernah melakukan HSG sebelumnya?
3)     Sudah pernah keguguran?
4)     Sudah melakukan hubungan badan dari selesai haid sampai hari ini?

Setelah saya jawab, dokter lalu meminta saya berbaring sambil menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1)     Tes HSG umum dilakukan, prosesnya hampir mirip seperti ketika pemasangan alat kontrasepsi IUD
2)     Setiap hari selalu ada pasien tes HSG
3)     Rasanya akan sedikit sakit, kurang nyaman, mules

Ketika asisten mengatur letak saya berbaring, tak terkira rasa malunya. This is my first time doing HSG. Dan sungguh saya takut, tangan saya dingin, pandangan saya tak tentu arah. Proses awalnya, dokter mengusapkan cairan antiseptik yang lama-kelamaan saya rasakan perih. Begitu kateter masuk, saya menjerit kesakitan sambil mencengkeram lengan Mba Eva. Proses pun terhenti karena saya dinilai belum siap. Dengan suara yang lembut, dokter memberikan saya opsi, tetap dilanjutkan atau dihentikan, karena ada juga pasien yang akhirnya dibatalkan karena terjadi masalah.

Cukup lama saya minta waktu untuk menenangkan diri, berusaha mencerna penjelasan dokter yang mengatakan bahwa umumnya sekali coba langsung berhasil masuk jika pasien tidak kontraksi.

Saya putuskan untuk lanjut. Sungguh luar biasa sakitnya. Meskipun yang keluar dari mulut saya adalah kalimat istighfar, namu saya ucapkan sambil teriak-teriak.

Setelah selang berhasil terpasang, dokter mencabut alat yang entah apa namanya. Kembali saya diminta mengatur posisi berbaring lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, lalu diminta miring ke kiri, lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, lalu diminta miring ke kanan, lalu disemprotkan cairan, lalu difoto, dan yang terakhir saya diminta berbaring terlentang lalu difoto.

Ketika proses ini usai, dokter menanyakan apakah saya diberi resep obat penghilang rasa sakit dan apakah saya merasakan sakit. Jika nanti terasa sakit maka saya diperbolehkan minum obat pereda sakit seperti asam mefenamat, ibuprofen, atau apa namanya saya lupa.

Dokter mempersilakan saya untuk membersihkan area genital dan memasang pembalut sebagai antisipasi bila keluar darah atau cairan kontras. Setelah selesai ganti baju, saya pun keluar. Setelah 10 menit, saya merasa sedikit rasa sakit. Tak tahan dengan rasa sakitnya, saya pun berderai air mata. Melihat saya menangis, petugas resepsionis mendatangi saya seraya memberikan obat pereda rasa sakit.

Sekitar jam 6 lewat, hasil lab keluar. Kami mampir ke sekolah sebentar untuk mengambil barang dan sekalian saya sholat. Sebelum pulang, kami mampir membeli makan malam. Kira-kira jam setengah 8 kami menepi ke warung sate. Hujan turun sangat deras. Begitu pesanan datang, here the pain comes, di sinilah mulai terasa sakit yang sesungguhnya.

Sepanjang perjalanan pulang, saya mengaduh kesakitan. Sampai di depan rumah, sambil terhuyung-huyung saya keluar dari mobil. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali berbaring saja di kamar. Bahkan sekedar untuk cegukan, sendawa, dan batuk saja, sakit rasanya, apalagi untuk buang angin. Puncaknya menjelang jam 12 malam, saya sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit. Saya merengek minta diberi obat karena sama sekali saya tidak bisa tidur. Akhirnya dengan sedikit kesal, suami memberi saya obat. Meski sudah minum obat, faktanya saya masih terjaga hingga jam 2 pagi. Alhamdulillah setelah itu saya pun bisa tidur.

Hari berikutnya, saya masih minta bantuan suami saya untuk memapah jika saya ingin ke kamar mandi atau wudhu karena saya belum cukup kuat untuk berdiri tegak.

Bagaimana dengan hasil labnya? Alhamdulillah semua baik dan normal. Masih terasa ngilu bila saya melihat hasil foto rontgennya, terpampang jelas panjang selangnya. Penjelasan dari dokter Anis, jika bulan ini tidak terjadi konsepsi maka bulan depan saya diminta ketemu dokter untuk melakukan induksi lagi pada hari pertama haid.

Cerita ini saya kisahkan bukan untuk mencari empati, tapi semata-mata saya ingin berbagi pengalaman saja. Tentu ketahanan dan toleransi tubuh terhadap rasa sakit berbeda-beda pada setiap orang, saya sendiri termasuk orang yang paling rapuh dan tidak tahan banting.

Semangat bagi pasangan yang sedang promil semoga ikhtiar kita dikabulkan Allah SWT. aamiin

H – 1


H – 1

Friday
March 22nd 2019
I felt so depressed today.
This evening somebody texted me via WA.
She asked me which number she could dial to contact me. She told me about the campaign at Kridosono.

My hubby went home when the sun set.
I told him.
A moment later I was crying.
He couldn’t stop talking, warning, complaining, and blaming on me.

Oh God.
Why should I marry this man?
He’s so arrogant.

Deep down in my heart, all I want is you. You come close and hug me, you let me cry by your side, but you didn’t.

All I need is, you go shower, change your cloth, stand next to me, hold my hand, remove tears, and calm me down, but you didn’t.

I am crying all day long until my eyes are swollen.

Dislike this situation.
Can’t you be more romantic when I was down?
Don’t you grow up?

What does make me cry?
It’s going to be hurt, but I’m going to be fine, right?

JADWAL HSG


JADWAL HSG

Sore ini, hari Rabu, tanggal 20 Maret 2019, saya dan suami berniat survey lab untuk tes HSG. Tempat pertama yang kita tuju adalah lab Parahita. Kenapa milih Parahita? Karena yang paling deket. Dan karena kemarin suami juga cek sperma d Parahita.

Belum sampai meja resepsionis saja, saya udah lemes, takut banget. Setelah suami ambil nomor antrian, saya beranikan diri melangkah maju ke meja resepsionis. Ini bukan lebay ya, tapi beneran takut.

Ternyata, sebelum tes HSG, kita memang harus buat janji dulu dengan dokternya, karena jadwal dokternya tidak setiap hari ada, apalagi kalau akhir pekan. Resepsionisnya menjelaskan bahwa:
1)     Tes HSG dapat dilakukan pada hari ke 9, 10, 11, 12 (namun biasanya dokter lebih senang jika HSG dilakukan pada hari ke 10, karena rahim cenderung sudah bersih dari darah haid).
2)     Disarankan untuk tidak melakukan hubungan badan di hari selesai haid hingga menjelang tes HSG.
3)     Disarankan pula untuk merapikan pubic hair sebelum tes HSG.

Setelah banyak nanya ini itu, diputuskanlah untuk tes HSG di hari ke 10 setelah haid yang jatuh pada hari Sabtu. Setelah di telponkan ternyata tidak ada jadwal dokter di hari tersebut, sehingga ditawarkan opsi untuk:
1)     Mencari alternatif lab lain
2)     Menunggu sampai berakhirnya siklus haid bulan berikutnya

Kita pilih opsi pertama donx, soalnya kalau nungguin berakhirnya siklus haid bulan berikutnya kan kelamaan, pakai banget lagi.

Tempat kedua yang kita tuju adalah lab Cito. Menurut saya, resepsionis di sini jauh lebih ramah. Bukan saya mengatakan bahwa resepsionis di Parahita tidak ramah, bukan ya. Di Parahita, resepsionisnya ramah dan jujur, tapi di Cito, resepsionisnya jauh lebih ramah dan halus.

Di Cito kami tidak mengambil nomor antrian, karena memang tidak sedang ada antrian, jadi langsung dilayani resepsionis. Penjelasannya sama dengan lab sebelumnya yaitu HSG bisa dilakukan pada hari ke 9 atau 10. Jika hari ke 9 maka jatuh pada hari Jumat, dan jika hari ke 10 maka jatuh pada hari Sabtu. Ternyata hari Jumat dan Sabtu ada jadwal dokter, dan suami saya langsung putuskan oke, hari Sabtu jam 4 sore. Saya dimintai keterangan nama, nomor yang bisa dihubungi, dan dokter obsgyn yang memberikan surat pengantar. Di buku tertulis sudah ada 2 calon pasien tes HSG.

Berhubung saya kepo, tanyalah saya ke resepsionisnya, boleh ga kalau ditemenin suami masuk ruangan? Jawabannya, mohon maaf, berhubung ruangan radiasi sehingga kami meminimalkan orang yang tidak berkepentingan untuk masuk ke ruang tersebut.
Makin lemes lah saya. But one thing for sure, dokternya perempuan, this good news makes me comfort.